CARA CARI DUIT DI INTERNET

Thursday, 8 May 2008

Berbagi Cerita

~ Bunda, Mandikanlah Aku... ~


Sering kali orang tidak mensyukuri apa yang
dimilikinya sampai akhirnya..... Rani, sebut saja
begitu namanya. Kawan kuliah ini berotak cemerlang dan
memiliki idealisme tinggi. Sejak masuk kampus, sikap
dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik,
di bidang akademis maupun profesi yang akan
digelutinya. ''Why not the best,'' katanya selalu,
mengutip seorang mantan presiden Amerika.

Ketika Universitas mengirim mahasiswa untuk studi
Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, Belanda,
Rani termasuk salah satunya. Saya lebih memilih
menuntaskan pendidikan kedokteran. Berikutnya, Rani
mendapat pendamping yang ''selevel''; sama-sama
berprestasi, meski berbeda profesi. Surans, buah
cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staf
diplomat, bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih
PhD. Saya tak sempat mengira, apa
mereka bermaksud menjadikannya sebagai anak yang
pertama dan terakhir.

Ketika Surans, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan,
kesibukan Rani semakin menggila. Bak garuda, nyaris
tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan
dari satu negara ke negara lain. Setulusnya saya
pernah bertanya, ''Tidakkah si Surans terlalu kecil
untuk ditinggal-tinggal?'' Dengan sigap Rani
menjawab, ''Oh, saya sudah mengantisipasi segala
sesuatunya. Everything is OK!'' Ucapannya itu
betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian
anaknya, ditangani secara profesional oleh baby
sitter mahal. Rani tinggal mengontrol jadwal Surans
lewat telepon. Surans tumbuh menjadi anak yang tampak
lincah, cerdas dan gampang mengerti. Kakek-neneknya
selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata
wayang itu, tentang kehebatan ibu-bapaknya. Tentang
gelar dan nama besar, tentang naik pesawat terbang,
dan uang yang banyak. ''Contohlah ayah-bunda Surans,
kalau Surans besar nanti.'' Begitu selalu nenek Surans,
ibunya Rani, berpesan di akhir dongeng menjelang
tidurnya.

Ketika Surans berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia
minta adik. Terkejut dengan permintaan tak terduga
itu, Rani dan suaminya kembali menagih pengertian
anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk
menghadirkan seorang adik buat Surans. Lagi-lagi bocah
kecil ini ''memahami'' orang tuanya. Buktinya, kata
Rani, ia tak lagi merengek minta adik. Surans,
tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan
perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut,
ia jarang sekali ngambek. Bahkan, tutur Rani, Surans
selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria.
Maka, Rani menyapanya ''malaikat kecilku''.

Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua
orangtuanya super sibuk, Surans tetap tumbuh penuh
cinta. Diam-diam, saya iri pada keluarga ini. Suatu
hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah
mengapa Surans menolak dimandikan baby sitter. ''Surans
ingin Bunda mandikan,'' ujarnya penuh harap. Karuan
saja Rani, yang detik ke detik waktunya sangat >>
diperhitungkan, gusar. Ia menampik permintaan Surans
sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan
keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Surans
agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya.
Lagi-lagi, Surans dengan pengertian menurut, meski
wajahnya cemberut.

Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan. ''Bunda,
mandikan aku !'' kian lama suara Surans penuh tekanan.
Toh, Rani dan suaminya berpikir, mungkin itu karena
Surans sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak
lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya
Surans bisa ditinggal juga.

Sampai suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien,
sang baby sitter. ''Bu dokter, Surans demam dan
kejang-kejang. Sekarang di Emergency.'' Setengah
terbang, saya ngebut ke UGD. But it was too late.
Tuhan sudah punya rencana lain. Surans, si
kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya. Rani,
ketika diberi tahu soal Surans, sedang meresmikan kantor
barunya. Ia shock berat. Setibanya di rumah,
satu-satunya keinginan dia adalah memandikan putranya.
Setelah pekan lalu Surans mulai menuntut, Rani memang
menyimpan komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya
sendiri. Dan siang itu, janji Rani terwujud, meski
setelah; tubuh si kecil terbaring kaku. ''Ini Bunda
Surans, Bunda mandikan Surans,'' ucapnya lirih, di tengah
pelayat yang sunyi. Satu persatu rekan Rani menyingkir
dari sampingnya, berusaha menyembunyikan tangis.

Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami
masih berdiri mematung di sisi pusara. Berkali-kali
Rani, sahabatku yang tegar itu, berkata, ''Ini sudah
takdir, ya kan. Sama saja, aku di sebelahnya ataupun
di seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi
juga kan?'' Saya diam saja. Rasanya Rani memang tak
perlu hiburan dari orang lain. Suaminya mematung
seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya
kosong. ''Ini konsekuensi sebuah pilihan,'' lanjut
Rani, tetap mencoba tegar dan kuat. Hening sejenak.

Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja. Tiba-tiba
Rani berlutut. ''Aku ibunyaaa!'' serunya histeris,
lantas tergugu hebat. Rasanya baru kali ini saya
menyaksikan Rani menangis, lebih-lebih tangisan yang
meledak. ''Bangunlah Surans, Bunda mau mandikan Surans.
Beri kesempatan Bunda sekali saja Surans. Sekali saja,
Surannnnnsssss..'' Rani merintih mengiba-iba. Detik
berikutnya, ia menubruk pusara dan tertelungkup di
atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang
menaungi jasad Surans. Senja pun makin tua. Nasi sudah
menjadi bubur, sesal tidak lagi menolong. Hal yang
nampaknya sepele sering kali menimbulkan sesal dan
kehilangan yang amat sangat. Sering kali orang sibuk
'di luaran', asik dengan dunianya dan ambisinya
sendiri tidak mengabaikan orang2 di dekatnya yang
disayanginya. Akan masih ada waktu 'nanti' buat mereka
jadi abaikan saja dulu. Sering kali orang takabur
dan merasa yakin bahwa pengertian dan kasih sayang
yang diterimanya tidak akan hilang. Merasa mereka
akan mengerti karena mereka menyayanginya dan tetap
akan ada.

No comments: